Kamis, 13 Januari 2011

coversation

BELAJAR DARI KASUS GAYUS TAMBUNAN

Ismadi, pegawai di salah satu kementerian, berujar, hanya wajah Gayus Tambunan yang terbayang saat mengisi  surat pemberitahuan (SPT) pajaknya. Itu ungkapan seorang wajib pajak yang memendam kekecewaan atas pengelolaan uang rakyat melalui setoran pajak, tetapi digelapkan makelar kasus.

Kasus Gayus menyadarkan publik bahwa ternyata ada yang salah dalam penanganan pajak selama ini. Kesalahan rupanya masih terjadi pada saat reformasi birokrasi tengah diperjuangkan.

”Setelah reformasi pun masih ada pengusaha yang ’dihantam’ (dipaksa) membayar pajak 1.000, padahal tagihannya hanya 100. Dengan cara ini, makelar pajak bisa menggiring kami untuk negosiasi dengan mereka,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Bagaimana aparat pajak bisa begitu kuat? Sebab, dari hulu hingga hilir, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memegang kekuasaan hukum atas wajib pajak. Dia yang membuat aturan, mengimplementasikannya, sekaligus menindak wajib pajak yang berani melanggar aturan itu.

Jika wajib pajak membayar pajak dengan mendapatkan tekanan seperti itu, ujung-ujungnya hanya satu, yakni hilangnya kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, dikhawatirkan kejujuran wajib pajak pun akan sirna.

Padahal, kejujuran adalah tulang punggung sistem perpajakan yang dianut Indonesia, yakni self assessment (wajib pajak diberi kebebasan menyampaikan laporan pajak secara sukarela). ”Kami masih dianggap bandit, tetapi uang yang kami bayar justru dibawa lari gayus-gayus itu,” tutur Sofjan.

Dengan kekuatan Ditjen Pajak seperti itu, para pengusaha ragu akan kemampuan Komite Pengawas Perpajakan (KPP) untuk menjadi jalan keluar bagi wajib pajak yang teraniaya. Atas dasar itulah, sekitar 200 pengusaha besar dan kecil meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membentuk tim kecil gabungan (pengusaha dan pejabat Kementerian Keuangan) dengan tugas menghimpun kenakalan petugas pajak.

Tim gabungan ini diharapkan akan mengembalikan kepercayaan antara Ditjen Pajak dan wajib pajak yang menurun pascakasus Gayus. Temuan tim diharapkan akan mengembalikan hak dan kewajiban wajib pajak di tempat yang seharusnya.

Tidak mudah

Kerja tim gabungan ini tidak akan mudah. Jika bercermin pada pengalaman Amerika Serikat, butuh 20 tahun untuk mengumpulkan apa yang menjadi hak-hak wajib pajak. Itu termasuk masa dengar pendapat dari seluruh pemangku kepentingan antara tahun 1981-1998.

Pengamat pajak Universitas Indonesia, Darussalam, menegaskan, jika negara ingin publik membayar pajak secara sukarela dan jujur, penuhi dulu hak-haknya sebagai wajib pajak. Setelah terpenuhi, kewajiban yang dituntut oleh pemerintah pasti akan dipenuhi wajib pajak.

Namun, coba lihat di situs Ditjen Pajak. Wajib pajak dituntut nurut ketimbang menikmati manfaat pajaknya.

Saat membuka bagian yang mengungkap hak dan kewajiban wajib pajak, kewajiban dulu yang ditempatkan di atas, baru kemudian haknya. Yang jelas, butuh lima halaman untuk memaparkan hak wajib pajak, sedangkan untuk kewajibannya butuh enam halaman.

Padahal, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sudah menegaskan enam hak dasar wajib pajak dan hanya lima kewajiban wajib pajak. Hak wajib pajak adalah hak mendapatkan informasi, didampingi, dan didengar keluhannya. Lalu, berhak naik banding, berhak membayar pajak tidak lebih dari yang seharusnya, dan berhak mendapatkan kepastian hukum.

Hak lainnya adalah memperoleh jaminan tidak diganggu hak-hak pribadinya. Kemudian hak atas kerahasiaan identitas pribadinya.

Jika hak-hak itu sudah terpenuhi secara bulat, barulah pemerintah dapat berharap semua kewajiban wajib pajak dipenuhi. Kewajiban wajib pajak adalah kewajiban berkata jujur, bekerja sama secara positif, wajib menyediakan data secara akurat dan tepat waktu, wajib menyimpan data, serta wajib membayar pajak tepat waktu.

Mengapa hak wajib pajak harus didahulukan? Sebab, ingatlah pesan John Marshall (24 September 1755-6 Juli 1835), seorang pengacara, pembentuk opini Amerika Serikat pada masanya, dan legislator, kekuasaan untuk menarik pajak pada negara itu diiringi kekuasaan untuk merusak. Sebab, bagaimanapun, pungutan pajak adalah setoran yang dipaksakan.

JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 10 fakta kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para penegak hukum.

Peneliti hukum ICW Donald Faris, Minggu (21/11/2010), di kantor ICW, Jakarta, mengungkapkan 10 kejanggalan tersebut. Inilah kejanggalan dan analisa versi ICW.

Pertama, Gayus dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor 1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel.

"Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut. Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus," kata Donald.

Dikatakan Donald, pernyataan ini sulit dibantah karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman, dan Kabareskrim dan Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal, dalam kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan. Tujuannya, agar blokir rekening uangnya dibuka.

Kedua, Polisi menyita save deposit milik Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar. Namun, perkembangannya tidak jelas hingga saat ini. "Hingga saat ini, keberlanjutan pemeriksaan atas rekening lain milik Gayus dengan nominal mencapai Rp 75 miliar menjadi tidak jelas. Polisi terkesan amat tertutup atas rekening yang secara nominal jauh lebih besar," kata Donald.

Ketiga, kepolisian masih belum memproses secara hukum tiga perusahaan yang diduga menyuap Gayus, seperti KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Padahal, Gayus telah mengakui telah menerima uang 3.000.000 dollar AS dari perusahaan tersebut.

"Kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Hingga saat ini kepolisian belum memproses ketiga perusahaan tersebut. Padahal, Gayus sudah menyatakan bahwa dia pernah membuat Surat Pemberitahuan Pajak Pembetulan tahun pajak 2005-2006 untuk KPC dan Arutmin. Alasan kepolisian belum memproses kasus ini adalah belum cukup alat bukti. Alasan ini dinilai ICW mengada-ada. Kesaksian Gayus di persidangan dinilai sudah cukup menjadi sebuah alat bukti yang sah di mata hukum," kata Donald.

Keempat, Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini sudah divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut keterlibatannya oleh Gayus belum diproses sama sekali. "Pihak kepolisian melokalisir kasus ini hanya sampai perwira menengah. Baik Kompol Arafat maupun AKP Sumartini seolah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka hanyalah pemain kecil dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan. Polri terkesan melindungi keterlibatan para perwira tinggi," kata Donald.

Kelima, Kepolisian menetapkan Gayus, Humala Napitupulu, dan Maruli Pandapotan Manulung sebagai tersangka kasus pajak PT SAT. Namun, penyidik tak menjerat atasan mereka yang sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. "Hal ini merupakan bagian dari konspirasi tebang pilih penegak hukum kepada pelaku kecil dan tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat. Selain ketiga tersangka tersebut, berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pajak No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, paling tidak ada dua nama yang seharusnya juga bertanggung jawab, yaitu Kepala Subdirektorat Pengurangan dan Keberatan Johny Marihot Tobing dan Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso," kata Donald.

Keenam, pada 10 Juni 2010 Mabes Polri menetapkan Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan Gayus. Namun, tiba-tiba, status Cirus berubah menjadi saksi. "Perubahan status ini dicurigai sebagai bentuk kompromi penegak hukum untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Hal ini amat mungkin terjadi karena dimensi kasus Gayus yang amat luas hingga pada petinggi kepolisian," kata Donald.

Ketujuh, Kejagung melaporkan Cirus ke kepolisian terkait bocornya rencana penuntutan. Namun, hal ini bukan karena kasus dugaan suap Rp 5 miliar dan penghilangan pasal korupsi serta pencucian uang dalam dakwaan pada kasus sebelumnya. "Di satu sisi, langkah Kejagung ini menimbulkan pertanyaan, kenapa yang dilaporkan adalah kasus bocornya rentut, bukan kasus penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang. Langkah ini diduga sebagai siasat untuk melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cirus seorang diri," kata Donald.

Kedelapan, Dirjen Pajak enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga pernah menyuap Gatys karena menunggu novum baru. Padahal, menurut Donald, pernyataan Gayus perihal uang sebesar 3.000.000 dollar AS diperolehnya dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource, bisa dijadikan sebuah alat bukti karena disampaikan dalam persidangan.

Kesembilan, Gayus keluar dari Mako Brimob ke Bali dengan menggunakan identitas palsu. Menurut Donald, hal ini menunjukkan dua kejanggalan. Pertama, kepolisian tidak serius mengungkap kasus Gayus hingga tuntas sampai  ke dalang sesungguhnya. Kepolisian juga belum tuntas untuk mencari persembunyian harta Gayus sehingga konsekuensinya dia begitu mudah bisa menyogok aparat penegak hukum. Kedua, Gayus memiliki posisi daya tawar yang kuat kepada pihak-pihak yang pernah menerima suap selama dia menjadi pegawai pajak.

Kesepuluh, Polri menolak kasus Gayus diambil alih KPK. Padahal, kepolisian terlihat tak serius menanggani kasus tersebut. Penolakan ini telah terjadi sejak Maret 2010. Saat itu, Kadiv Humas Polri Brigjen Edward Aritonang mengatakan, Polri masih sanggup menangani kasus tersebut. "Nyatanya, Gayus malah berpelesir ke Bali," katanya.


LEARNING FROM THE CASE of GAYUS TAMBUNAN
Ismadi, an employee at one of the ministry, said, simply face Gaius Tambunan is imagined when filling out a notice (SPT) tax return. That expression of a taxpayer who harbored regret over the management of public money through tax collection, but darkened broker case.
Case Gaius public aware that there's something wrong in the handling of taxes over the years. Mistake apparently still occurs during the middle of fighting for bureaucratic reform.
"After the reforms will still have employers who 'hit' (forced) to pay taxes in 1000, when the bill is only 100. In this way, tax realtor can lead us to negotiate with them, "said Chairman of the Indonesian Employers Association (Apindo) Sofjan Wanandi.
How tax authorities could be so strong? Because, from upstream to downstream, the Directorate General (DG) Tax law holds power over the taxpayer. He who makes the rules, implement them, as well as crack down on taxpayers who dare to violate the rules.
If taxpayers pay taxes to get pressure like that, the edges are only one, namely the loss of confidence. If trust is lost, honesty feared taxpayers would be gone.
In fact, honesty is the backbone of the tax system adopted by Indonesia, namely self-assessment (tax payers given the freedom to voluntarily submit the tax report.) "We are still considered to be bandits, but the money we paid just run off-Gaius Gaius it," said Sofyan.
With the power of such Tax Directorate, the employer doubts the ability of the Supervisory Committee on Taxation (KPP) to be a way out for the abused taxpayers. On this basis, approximately 200 large and small employers to ask the Minister of Finance Sri Mulyani Indrawati, forming small teams combined (businessmen and officials of the Ministry of Finance) with a duty to collect the tax delinquency.
Joint team is expected to restore trust between the Directorate General of Tax and tax payers who declined pascakasus Gaius. Team's findings are expected to restore the rights and obligations of taxpayers in its proper place.
It is not easy
This combination of teamwork will not be easy. If you reflect on the experience of the United States, it took 20 years to collect what the rights of taxpayers. That includes the hearing of all stakeholders between the years 1981-1998.
Tax Observer, University of Indonesia, Darussalam, asserted, if the state wants the public to pay taxes voluntarily and honestly, once filled their rights as taxpayers. Once met, the obligations demanded by the government would have fulfilled the taxpayer.
However, look at the tax office website. According to Taxpayers prosecuted rather than enjoying the benefits of the tax.
When opening that reveals the rights and obligations of taxpayers, the liability was placed on top, then her right. What is clear, it takes five pages to describe the rights of taxpayers, while for the obligations took six pages.
In fact, the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) has asserted six basic rights of taxpayers and only five obligations of taxpayers. Taxpayer rights is the right to get information, accompanied by, and hear their complaints. Then, right to appeal, is entitled to pay no more tax than they should, and are entitled to a legal certainty.
Other rights are not compromised to obtain guarantees personal rights. Then right to confidentiality of personal identity.
If these rights are met in a round, then the government can expect all taxpayers obligations are met. Taxpayer liabilities are liabilities being truthful, positive cooperation, shall provide the data accurately and timely, shall store the data, and must pay taxes on time.
Why is taxpayer rights should take precedence? Because, remember the message John Marshall (24 September 1755-6 July 1835), a lawyer, opinion formers United States in his time, and legislators, the power to levy taxes in the country accompanied by the power to destroy. Because, however, the tax levy is imposed deposit.
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) notes there are at least 10 facts irregularities that occurred in a mafia scandal disclosures of tax with tax officials suspect Gaius HP Tambunan. This discrepancy in terms of cases to law enforcement.
ICW legal researcher Donald Faris, Sunday (11/21/2010) in ICW office in Jakarta, said 10 such irregularities. This discrepancy and analysis ICW version.
First, Gaius snared in the case of PT SAT with a loss of USD 570.952 million, and not on the main case, namely the ownership of accounts of Rp 28 billion, according to the indictment charged in Criminal Case No. 1195/Pid/B/2010/PN.JKT. Tues
"Selection of PT SAT suspected case is a scenario the police and prosecutors to avoid the knot of the cases of suspected tax mafia ensnare officials in both institutions. Case PT SAT itself is very much its association with the origins of this case sticking out, namely the ownership of the account Rp 28 billion, held Gaius, "said Donald.
It is said Donald, this statement is factually difficult denied because some police officers, such as Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, King Erizman, and Kabareskrim and Wakabareskrim, until now not been touched at all. In fact, in his testimony, Gaius had claimed never to spend money of 500,000 U.S. dollars for police officers through Haposan. The goal, in order to block the money account is opened.
Second, the Police seized Gaius Tambunan save deposit owned by Rp 75 billion. However, its development is not clear until now. "Until now, the continued examination of other accounts owned by Gaius with a par to reach USD 75 billion are not clear. The police seem very closed on account of the nominally much larger," said Donald.
Third, the police still have not processed by law three companies suspected of bribing Gaius, such as KPC, Arutmin, and Earth Resource. In fact, Gaius has admitted to having received the money three million dollars from the company.
"Police seemed to close the ears of testimony in the trial of Gaius related proprietary accounts of Rp 28 billion, comes from the KPC, Arutmin, and Earth Resource. Until now police have not process the three companies. In fact, Gaius has stated that he never makes Income Tax Correction fiscal year 2005-2006 for KPC and. The reason police have not processed this case is not enough evidence. The reason is considered ICW making this up. Testimony at the trial of Gaius valued enough to be a valid evidence under the law, "said Donald .
Fourth, Kompol Arafat and the AKP Sri Sumartini been convicted. However, police officers who never mentioned his involvement by Gaius has not been processed at all. "The police localize this case only until the middle-ranking officers. Neither Arafat nor the AKP Kompol Sumartini used as sacrificial in the case. In fact, they are only small players and not located as the holder of the decision. Police officers impressed protect high-involvement," said Donald.
Fifth, the police set Gaius, Humala Napitupulu, and Maruli Pandapotan Manulung as suspect cases of tax PT SAT. However, investigators do not ensnare their superiors who actually have a greater responsibility. "This is part of the conspiracy selective law enforcement to small players and do not have strong bargaining power position. In addition to the three suspects, according to the Directorate General of Taxes Decree No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, most no two names should also be responsible, namely the Head of Sub-Reduction and Objections Johnny marihot Tobias and the Director of Objections and Appeals Bambang Heru Ismiarso, "said Donald.
Sixth, on June 10, 2010 Police Headquarters set a prosecutor Cirus Sinaga and Poltak Manulang as suspect cases of bribery in tax evasion case by Gaius. However, all of a sudden, Cirus status changed to witness. "The change in status is suspected as a form of compromise law enforcement agencies to ensnare the actual parties allegedly involved. It is very likely to occur because the dimensions of a very broad Gaius case until the police officers," said Donald.
Seventh, the AGO report Cirus related to the leaking of police prosecution plans. However, this is not because of the alleged bribe of Rp 5 billion and the elimination of corruption and money laundering section in the indictment in the previous case. "On the one hand, this AGO step raises the question, why were reported leaking rentut cases, not cases of disappearances article corruption and money laundering. This step is suspected as a strategy to localize the problem and Cirus a self-sacrificing," said Donald.
Eighth, the DGT reluctant to re-check the tax companies allegedly bribing Gatys ever since waiting for a new Novum. In fact, according to Donald, Gaius statement regarding the sum of three million U.S. dollars obtained from KPC, Arutmin, and Earth Resource, can be used as a tool for evidence presented at trial.
Ninth, Gaius out of the Mako Brimob to Bali by using false identities. According to Donald, this shows two peculiarities. First, the police did not reveal serious Gaius case to its conclusion until the real mastermind. Police also have not finished looking for the treasure hiding Gaius, so consequently he's so easy to bribe law enforcement officers. Second, Gaius has a strong bargaining power position of the parties who had accepted bribes while he was a tax official.
Tenth, the Police refused Gaius case was taken over by KPK. In fact, no serious visible police handle the case. This rejection has occurred since March 2010. At that time, the Police Public Relations Kadiv Brigadier General Edward Aritonang said police are still able to handle the case. "In fact, even Gaius berpelesir to Bali," he said.